Tidak ada upaya yang lebih efektif dalam mencegah terjadinya difteri selain pemberian imunisasi. Hal ini terbukti baik di dalam maupun di luar negeri. Di negara maju dengan status gizi dan hygiene yang tinggi, imunisasi tetap diberikan dalam upaya memberikan kekebalan khusus terhadap difteri. Di Indonesia yang daerah cakupan imunisasinya tinggi, tidak laporan adanya kasus difteri. Sementara untuk daerah yang pernah terjadi wabah difteri dan dilakukan outbreak response immunization (ORI), terbukti efektif memutus rantai penularan. Oleh karena itu imunisasi DPT sebanyak 3 dosis pada bayi ditambah dengan imunisasi lanjutan pada Batita dan murid Sekolah Dasar dapat memberikan kekebalan terhadap penyakit ini.

Imunisasi lengkap dapat melindungi anak dari wabah, kecacatan dan kematian. imunisasi tidak membutuhkan biaya besar, bahkan di Posyandu anak-anak mendapatkan imunisasi secara gratis.
Ada lima (5) jenis imunisasi yang diberikan secara gratis di Posyandu, yang terdiri dari imunisasi Hepatitis B, BCG, Polio, DPT-HIB, serta campak. Semua jenis vaksin ini harus diberikan secara lengkap sebelum anak berusia 1 tahun diikuti dengan imunisasi lanjutan pada Batita dan Anak Usia Sekolah.

Penyebaran kasus difteri di Indonesia pada tahun 2016 terjadi di provinsi Jawa Barat yaitu di 6 kabupaten/kota yaitu Kab Cirebon, Kab Majalengka,Kab Bogor,Kota Bekasi,Cimahi dan Kab Indramayu. Jumlah kasus seluruhnya sampai dengan tanggal 10 Februari sebanyak 14 kasus dengan kematian 2 orang. Berdasarkan hasil surveilans, didapatkan data bahwa seluruh penderita difteri tidak diimunisasi karena adanya penolakan dari orangtua. Kasus yang ditemukan di Jawa Barat ini terjadi pada anak usia 3-14 tahun. Meski demikian, orang dewasa juga tetap perlu waspada karena difteri bisa terjadi pada orang dewasa yang tidak memiliki kekebalan terhadap difteri.

Di Indonesia, penyakit difteri mulai muncul kembali sekitar tahun 2003 di Bangkalan, Jawa Timur kemudian menyebar ke hampir seluruh kabupaten/kota di Jawa Timur, sehingga ditetapkan oleh Gubernur sebagai KLB pada tahun 2011. Pada tahun berikutnya didapat laporan kasus difteri pada beberapa provinsi seperti Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur.  Pada tahun 2014 Kota Padang juga melaporkan adanya kasus difteri dan dinyatakan sebagai KLB, kasus tersebut menyebar ke kabupaten Padang Pariaman dan Solok.

Kasus difteri ini masih terjadi karena masih ditemukan daerah kantong yang cakupan imunisasinya rendah akibat adanya penolakan terhadap imunisasi, rendahnya partisipasi masyarakat, geografis yang sulit. Untuk menanggulanginya Kejadian Luar Biasa (KLB) Difteri, Kemenkes dan Dinas Kesehatan setempat telah Memberikan pengobatan pada penderita dan memberikan obat (profilaksis) pada kontak erat dan carrier (orang yang mengandung kuman tapi tidak memiliki gejala klinis difteri);Melakukan Outbreak Response Immunization (ORI) dan Sub PIN difteri dengan memberikan vaksin DPT-HB untuk usia 2 bulan - < 3 tahun, DT untuk usia 3 7 tahun dan Td untuk anak usia > 7 tahun dan pemberian profilaksis untuk kontak erat dengan penderita; Penguatan imunisasi dasar pada bayi dan imunisasi lanjutan pada batita dan anak sekolah dasar; Mempertahankan cakupan imunisasi yang tinggi dan merata di seluruh wilayah; serta Memperbaiki manajemen pengelolaan dan sarana penyimpanan vaksin untuk menjaga mutu vaksin

Difteri adalah suatu penyakit yang ditandai dengan demam disertai adanya pseudomembran (selaput tipis) putih keabu-abuan pada tenggorokan (laring, faring,  tonsil) yang tak mudah lepas dan mudah berdarah. Salah satu komplikasi penyakit  difteri adalah bila toksin masuk ke peredaran darah dan ke otot jantung sehingga menyebabkan kelumpuhan otot jantung bahkan kematian. Toksin ini hanya bisa dihentikan dengan pemberian Anti Difteri Serum pada penderita.

Berita ini disiarkan oleh Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat Kementerian Kesehatan RI. Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi Halo Kemkes melalui nomor hotline 1500-567; SMS 081281562620, faksimili: (021)52921669, dan alamat email kontak[at]kemkes[dot]go[dot]id. - 

Tidak ada upaya yang lebih efektif dalam mencegah terjadinya difteri selain pemberian imunisasi. Hal ini terbukti baik di dalam maupun di luar negeri. Di negara maju dengan status gizi dan hygiene yang tinggi, imunisasi tetap diberikan dalam upaya memberikan kekebalan khusus terhadap difteri. Di Indonesia yang daerah cakupan imunisasinya tinggi, tidak laporan adanya kasus difteri. Sementara untuk daerah yang pernah terjadi wabah difteri dan dilakukan outbreak response immunization (ORI), terbukti efektif memutus rantai penularan. Oleh karena itu imunisasi DPT sebanyak 3 dosis pada bayi ditambah dengan imunisasi lanjutan pada Batita dan murid Sekolah Dasar dapat memberikan kekebalan terhadap penyakit ini.

Imunisasi lengkap dapat melindungi anak dari wabah, kecacatan dan kematian. imunisasi tidak membutuhkan biaya besar, bahkan di Posyandu anak-anak mendapatkan imunisasi secara gratis.
Ada lima (5) jenis imunisasi yang diberikan secara gratis di Posyandu, yang terdiri dari imunisasi Hepatitis B, BCG, Polio, DPT-HIB, serta campak. Semua jenis vaksin ini harus diberikan secara lengkap sebelum anak berusia 1 tahun diikuti dengan imunisasi lanjutan pada Batita dan Anak Usia Sekolah.

Penyebaran kasus difteri di Indonesia pada tahun 2016 terjadi di provinsi Jawa Barat yaitu di 6 kabupaten/kota yaitu Kab Cirebon, Kab Majalengka,Kab Bogor,Kota Bekasi,Cimahi dan Kab Indramayu. Jumlah kasus seluruhnya sampai dengan tanggal 10 Februari sebanyak 14 kasus dengan kematian 2 orang. Berdasarkan hasil surveilans, didapatkan data bahwa seluruh penderita difteri tidak diimunisasi karena adanya penolakan dari orangtua. Kasus yang ditemukan di Jawa Barat ini terjadi pada anak usia 3-14 tahun. Meski demikian, orang dewasa juga tetap perlu waspada karena difteri bisa terjadi pada orang dewasa yang tidak memiliki kekebalan terhadap difteri.

Di Indonesia, penyakit difteri mulai muncul kembali sekitar tahun 2003 di Bangkalan, Jawa Timur kemudian menyebar ke hampir seluruh kabupaten/kota di Jawa Timur, sehingga ditetapkan oleh Gubernur sebagai KLB pada tahun 2011. Pada tahun berikutnya didapat laporan kasus difteri pada beberapa provinsi seperti Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur.  Pada tahun 2014 Kota Padang juga melaporkan adanya kasus difteri dan dinyatakan sebagai KLB, kasus tersebut menyebar ke kabupaten Padang Pariaman dan Solok.

Kasus difteri ini masih terjadi karena masih ditemukan daerah kantong yang cakupan imunisasinya rendah akibat adanya penolakan terhadap imunisasi, rendahnya partisipasi masyarakat, geografis yang sulit. Untuk menanggulanginya Kejadian Luar Biasa (KLB) Difteri, Kemenkes dan Dinas Kesehatan setempat telah Memberikan pengobatan pada penderita dan memberikan obat (profilaksis) pada kontak erat dan carrier (orang yang mengandung kuman tapi tidak memiliki gejala klinis difteri);Melakukan Outbreak Response Immunization (ORI) dan Sub PIN difteri dengan memberikan vaksin DPT-HB untuk usia 2 bulan - < 3 tahun, DT untuk usia 3 7 tahun dan Td untuk anak usia > 7 tahun dan pemberian profilaksis untuk kontak erat dengan penderita; Penguatan imunisasi dasar pada bayi dan imunisasi lanjutan pada batita dan anak sekolah dasar; Mempertahankan cakupan imunisasi yang tinggi dan merata di seluruh wilayah; serta Memperbaiki manajemen pengelolaan dan sarana penyimpanan vaksin untuk menjaga mutu vaksin

Difteri adalah suatu penyakit yang ditandai dengan demam disertai adanya pseudomembran (selaput tipis) putih keabu-abuan pada tenggorokan (laring, faring,  tonsil) yang tak mudah lepas dan mudah berdarah. Salah satu komplikasi penyakit  difteri adalah bila toksin masuk ke peredaran darah dan ke otot jantung sehingga menyebabkan kelumpuhan otot jantung bahkan kematian. Toksin ini hanya bisa dihentikan dengan pemberian Anti Difteri Serum pada penderita.

Berita ini disiarkan oleh Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat Kementerian Kesehatan RI. Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi Halo Kemkes melalui nomor hotline 1500-567; SMS 081281562620, faksimili: (021)52921669, dan alamat email kontak[at]kemkes[dot]go[dot]id. - See more at: http://www.depkes.go.id/article/view/16021500001/imunisasi-efektif-cegah-difteri.html#sthash.xaAonteg.dpuf
Tidak ada upaya yang lebih efektif dalam mencegah terjadinya difteri selain pemberian imunisasi. Hal ini terbukti baik di dalam maupun di luar negeri. Di negara maju dengan status gizi dan hygiene yang tinggi, imunisasi tetap diberikan dalam upaya memberikan kekebalan khusus terhadap difteri. Di Indonesia yang daerah cakupan imunisasinya tinggi, tidak laporan adanya kasus difteri. Sementara untuk daerah yang pernah terjadi wabah difteri dan dilakukan outbreak response immunization (ORI), terbukti efektif memutus rantai penularan. Oleh karena itu imunisasi DPT sebanyak 3 dosis pada bayi ditambah dengan imunisasi lanjutan pada Batita dan murid Sekolah Dasar dapat memberikan kekebalan terhadap penyakit ini.

Imunisasi lengkap dapat melindungi anak dari wabah, kecacatan dan kematian. imunisasi tidak membutuhkan biaya besar, bahkan di Posyandu anak-anak mendapatkan imunisasi secara gratis.
Ada lima (5) jenis imunisasi yang diberikan secara gratis di Posyandu, yang terdiri dari imunisasi Hepatitis B, BCG, Polio, DPT-HIB, serta campak. Semua jenis vaksin ini harus diberikan secara lengkap sebelum anak berusia 1 tahun diikuti dengan imunisasi lanjutan pada Batita dan Anak Usia Sekolah.

Penyebaran kasus difteri di Indonesia pada tahun 2016 terjadi di provinsi Jawa Barat yaitu di 6 kabupaten/kota yaitu Kab Cirebon, Kab Majalengka,Kab Bogor,Kota Bekasi,Cimahi dan Kab Indramayu. Jumlah kasus seluruhnya sampai dengan tanggal 10 Februari sebanyak 14 kasus dengan kematian 2 orang. Berdasarkan hasil surveilans, didapatkan data bahwa seluruh penderita difteri tidak diimunisasi karena adanya penolakan dari orangtua. Kasus yang ditemukan di Jawa Barat ini terjadi pada anak usia 3-14 tahun. Meski demikian, orang dewasa juga tetap perlu waspada karena difteri bisa terjadi pada orang dewasa yang tidak memiliki kekebalan terhadap difteri.

Di Indonesia, penyakit difteri mulai muncul kembali sekitar tahun 2003 di Bangkalan, Jawa Timur kemudian menyebar ke hampir seluruh kabupaten/kota di Jawa Timur, sehingga ditetapkan oleh Gubernur sebagai KLB pada tahun 2011. Pada tahun berikutnya didapat laporan kasus difteri pada beberapa provinsi seperti Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur.  Pada tahun 2014 Kota Padang juga melaporkan adanya kasus difteri dan dinyatakan sebagai KLB, kasus tersebut menyebar ke kabupaten Padang Pariaman dan Solok.

Kasus difteri ini masih terjadi karena masih ditemukan daerah kantong yang cakupan imunisasinya rendah akibat adanya penolakan terhadap imunisasi, rendahnya partisipasi masyarakat, geografis yang sulit. Untuk menanggulanginya Kejadian Luar Biasa (KLB) Difteri, Kemenkes dan Dinas Kesehatan setempat telah Memberikan pengobatan pada penderita dan memberikan obat (profilaksis) pada kontak erat dan carrier (orang yang mengandung kuman tapi tidak memiliki gejala klinis difteri);Melakukan Outbreak Response Immunization (ORI) dan Sub PIN difteri dengan memberikan vaksin DPT-HB untuk usia 2 bulan - < 3 tahun, DT untuk usia 3 7 tahun dan Td untuk anak usia > 7 tahun dan pemberian profilaksis untuk kontak erat dengan penderita; Penguatan imunisasi dasar pada bayi dan imunisasi lanjutan pada batita dan anak sekolah dasar; Mempertahankan cakupan imunisasi yang tinggi dan merata di seluruh wilayah; serta Memperbaiki manajemen pengelolaan dan sarana penyimpanan vaksin untuk menjaga mutu vaksin

Difteri adalah suatu penyakit yang ditandai dengan demam disertai adanya pseudomembran (selaput tipis) putih keabu-abuan pada tenggorokan (laring, faring,  tonsil) yang tak mudah lepas dan mudah berdarah. Salah satu komplikasi penyakit  difteri adalah bila toksin masuk ke peredaran darah dan ke otot jantung sehingga menyebabkan kelumpuhan otot jantung bahkan kematian. Toksin ini hanya bisa dihentikan dengan pemberian Anti Difteri Serum pada penderita.

Berita ini disiarkan oleh Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat Kementerian Kesehatan RI. Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi Halo Kemkes melalui nomor hotline 1500-567; SMS 081281562620, faksimili: (021)52921669, dan alamat email kontak[at]kemkes[dot]go[dot]id. - See more at: http://www.depkes.go.id/article/view/16021500001/imunisasi-efektif-cegah-difteri.html#sthash.xaAonteg.dpuf
Tidak ada upaya yang lebih efektif dalam mencegah terjadinya difteri selain pemberian imunisasi. Hal ini terbukti baik di dalam maupun di luar negeri. Di negara maju dengan status gizi dan hygiene yang tinggi, imunisasi tetap diberikan dalam upaya memberikan kekebalan khusus terhadap difteri. Di Indonesia yang daerah cakupan imunisasinya tinggi, tidak laporan adanya kasus difteri. Sementara untuk daerah yang pernah terjadi wabah difteri dan dilakukan outbreak response immunization (ORI), terbukti efektif memutus rantai penularan. Oleh karena itu imunisasi DPT sebanyak 3 dosis pada bayi ditambah dengan imunisasi lanjutan pada Batita dan murid Sekolah Dasar dapat memberikan kekebalan terhadap penyakit ini.

Imunisasi lengkap dapat melindungi anak dari wabah, kecacatan dan kematian. imunisasi tidak membutuhkan biaya besar, bahkan di Posyandu anak-anak mendapatkan imunisasi secara gratis.
Ada lima (5) jenis imunisasi yang diberikan secara gratis di Posyandu, yang terdiri dari imunisasi Hepatitis B, BCG, Polio, DPT-HIB, serta campak. Semua jenis vaksin ini harus diberikan secara lengkap sebelum anak berusia 1 tahun diikuti dengan imunisasi lanjutan pada Batita dan Anak Usia Sekolah.

Penyebaran kasus difteri di Indonesia pada tahun 2016 terjadi di provinsi Jawa Barat yaitu di 6 kabupaten/kota yaitu Kab Cirebon, Kab Majalengka,Kab Bogor,Kota Bekasi,Cimahi dan Kab Indramayu. Jumlah kasus seluruhnya sampai dengan tanggal 10 Februari sebanyak 14 kasus dengan kematian 2 orang. Berdasarkan hasil surveilans, didapatkan data bahwa seluruh penderita difteri tidak diimunisasi karena adanya penolakan dari orangtua. Kasus yang ditemukan di Jawa Barat ini terjadi pada anak usia 3-14 tahun. Meski demikian, orang dewasa juga tetap perlu waspada karena difteri bisa terjadi pada orang dewasa yang tidak memiliki kekebalan terhadap difteri.

Di Indonesia, penyakit difteri mulai muncul kembali sekitar tahun 2003 di Bangkalan, Jawa Timur kemudian menyebar ke hampir seluruh kabupaten/kota di Jawa Timur, sehingga ditetapkan oleh Gubernur sebagai KLB pada tahun 2011. Pada tahun berikutnya didapat laporan kasus difteri pada beberapa provinsi seperti Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur.  Pada tahun 2014 Kota Padang juga melaporkan adanya kasus difteri dan dinyatakan sebagai KLB, kasus tersebut menyebar ke kabupaten Padang Pariaman dan Solok.

Kasus difteri ini masih terjadi karena masih ditemukan daerah kantong yang cakupan imunisasinya rendah akibat adanya penolakan terhadap imunisasi, rendahnya partisipasi masyarakat, geografis yang sulit. Untuk menanggulanginya Kejadian Luar Biasa (KLB) Difteri, Kemenkes dan Dinas Kesehatan setempat telah Memberikan pengobatan pada penderita dan memberikan obat (profilaksis) pada kontak erat dan carrier (orang yang mengandung kuman tapi tidak memiliki gejala klinis difteri);Melakukan Outbreak Response Immunization (ORI) dan Sub PIN difteri dengan memberikan vaksin DPT-HB untuk usia 2 bulan - < 3 tahun, DT untuk usia 3 7 tahun dan Td untuk anak usia > 7 tahun dan pemberian profilaksis untuk kontak erat dengan penderita; Penguatan imunisasi dasar pada bayi dan imunisasi lanjutan pada batita dan anak sekolah dasar; Mempertahankan cakupan imunisasi yang tinggi dan merata di seluruh wilayah; serta Memperbaiki manajemen pengelolaan dan sarana penyimpanan vaksin untuk menjaga mutu vaksin

Difteri adalah suatu penyakit yang ditandai dengan demam disertai adanya pseudomembran (selaput tipis) putih keabu-abuan pada tenggorokan (laring, faring,  tonsil) yang tak mudah lepas dan mudah berdarah. Salah satu komplikasi penyakit  difteri adalah bila toksin masuk ke peredaran darah dan ke otot jantung sehingga menyebabkan kelumpuhan otot jantung bahkan kematian. Toksin ini hanya bisa dihentikan dengan pemberian Anti Difteri Serum pada penderita.

Berita ini disiarkan oleh Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat Kementerian Kesehatan RI. Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi Halo Kemkes melalui nomor hotline 1500-567; SMS 081281562620, faksimili: (021)52921669, dan alamat email kontak[at]kemkes[dot]go[dot]id. - See more at: http://www.depkes.go.id/article/view/16021500001/imunisasi-efektif-cegah-difteri.html#sthash.xaAonteg.dpuf
Tidak ada upaya yang lebih efektif dalam mencegah terjadinya difteri selain pemberian imunisasi. Hal ini terbukti baik di dalam maupun di luar negeri. Di negara maju dengan status gizi dan hygiene yang tinggi, imunisasi tetap diberikan dalam upaya memberikan kekebalan khusus terhadap difteri. Di Indonesia yang daerah cakupan imunisasinya tinggi, tidak laporan adanya kasus difteri. Sementara untuk daerah yang pernah terjadi wabah difteri dan dilakukan outbreak response immunization (ORI), terbukti efektif memutus rantai penularan. Oleh karena itu imunisasi DPT sebanyak 3 dosis pada bayi ditambah dengan imunisasi lanjutan pada Batita dan murid Sekolah Dasar dapat memberikan kekebalan terhadap penyakit ini.

Imunisasi lengkap dapat melindungi anak dari wabah, kecacatan dan kematian. imunisasi tidak membutuhkan biaya besar, bahkan di Posyandu anak-anak mendapatkan imunisasi secara gratis.
Ada lima (5) jenis imunisasi yang diberikan secara gratis di Posyandu, yang terdiri dari imunisasi Hepatitis B, BCG, Polio, DPT-HIB, serta campak. Semua jenis vaksin ini harus diberikan secara lengkap sebelum anak berusia 1 tahun diikuti dengan imunisasi lanjutan pada Batita dan Anak Usia Sekolah.

Penyebaran kasus difteri di Indonesia pada tahun 2016 terjadi di provinsi Jawa Barat yaitu di 6 kabupaten/kota yaitu Kab Cirebon, Kab Majalengka,Kab Bogor,Kota Bekasi,Cimahi dan Kab Indramayu. Jumlah kasus seluruhnya sampai dengan tanggal 10 Februari sebanyak 14 kasus dengan kematian 2 orang. Berdasarkan hasil surveilans, didapatkan data bahwa seluruh penderita difteri tidak diimunisasi karena adanya penolakan dari orangtua. Kasus yang ditemukan di Jawa Barat ini terjadi pada anak usia 3-14 tahun. Meski demikian, orang dewasa juga tetap perlu waspada karena difteri bisa terjadi pada orang dewasa yang tidak memiliki kekebalan terhadap difteri.

Di Indonesia, penyakit difteri mulai muncul kembali sekitar tahun 2003 di Bangkalan, Jawa Timur kemudian menyebar ke hampir seluruh kabupaten/kota di Jawa Timur, sehingga ditetapkan oleh Gubernur sebagai KLB pada tahun 2011. Pada tahun berikutnya didapat laporan kasus difteri pada beberapa provinsi seperti Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur.  Pada tahun 2014 Kota Padang juga melaporkan adanya kasus difteri dan dinyatakan sebagai KLB, kasus tersebut menyebar ke kabupaten Padang Pariaman dan Solok.

Kasus difteri ini masih terjadi karena masih ditemukan daerah kantong yang cakupan imunisasinya rendah akibat adanya penolakan terhadap imunisasi, rendahnya partisipasi masyarakat, geografis yang sulit. Untuk menanggulanginya Kejadian Luar Biasa (KLB) Difteri, Kemenkes dan Dinas Kesehatan setempat telah Memberikan pengobatan pada penderita dan memberikan obat (profilaksis) pada kontak erat dan carrier (orang yang mengandung kuman tapi tidak memiliki gejala klinis difteri);Melakukan Outbreak Response Immunization (ORI) dan Sub PIN difteri dengan memberikan vaksin DPT-HB untuk usia 2 bulan - < 3 tahun, DT untuk usia 3 7 tahun dan Td untuk anak usia > 7 tahun dan pemberian profilaksis untuk kontak erat dengan penderita; Penguatan imunisasi dasar pada bayi dan imunisasi lanjutan pada batita dan anak sekolah dasar; Mempertahankan cakupan imunisasi yang tinggi dan merata di seluruh wilayah; serta Memperbaiki manajemen pengelolaan dan sarana penyimpanan vaksin untuk menjaga mutu vaksin

Difteri adalah suatu penyakit yang ditandai dengan demam disertai adanya pseudomembran (selaput tipis) putih keabu-abuan pada tenggorokan (laring, faring,  tonsil) yang tak mudah lepas dan mudah berdarah. Salah satu komplikasi penyakit  difteri adalah bila toksin masuk ke peredaran darah dan ke otot jantung sehingga menyebabkan kelumpuhan otot jantung bahkan kematian. Toksin ini hanya bisa dihentikan dengan pemberian Anti Difteri Serum pada penderita.

Berita ini disiarkan oleh Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat Kementerian Kesehatan RI. Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi Halo Kemkes melalui nomor hotline 1500-567; SMS 081281562620, faksimili: (021)52921669, dan alamat email kontak[at]kemkes[dot]go[dot]id. - See more at: http://www.depkes.go.id/article/view/16021500001/imunisasi-efektif-cegah-difteri.html#sthash.xaAonteg.dpuf

LKjIP Tahun 2022

LKjIP Tahun 2021

LKjIP Tahun 2020

LKjIP TAHUN 2019

LKJiP Tahun 2018

LAPORAN TAHUNAN 2022

LAPORAN TAHUNAN 2020

LAPORAN TAHUNAN 2019

LAPORAN TAHUNAN 2018

Profil 2022

PROFIL 2020

PROFIL 2019

PROFIL 2018

PK Tahun 2022

PK Tahun 2021

PK Tahun 2020

PK Tahun 2019

PK Tahun 2018

Rencana Aksi Kegiatan

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Pengaduan Online

Wistle Blowing System

Tentang Kami

Kantor Kesehatan Pelabuhan kelas II Banda Aceh merupakan Unit Pelaksana Teknis di lingkungan Kementerian Kesehatan yang berada di bawah dan bertanggungjawab kepada Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (Ditjen P2P) yang mempunyai tugas melaksanakan pencegahan masuk dan keluarnya penyakit

Hero of the Month TW III 2024

Hero of the Month TW III 2024

Layanan Sinkarkes

SEULAWAH (SURVEILANS EPIDEMIOLOGI KLB/WABAH)

Penyakit Potensial Wabah/KKM yang Ditemukan di BKK Kelas I Banda Aceh

Kunjungan Luar Negeri di PoE BKK Kelas I Banda Aceh

Indeks Kepuasan Masyarakat

Indeks Kepuasan Masyarakat

Aspirasi dan Pengaduan

Pendaftaran Layanan Vaksinasi Meningitis

Alur Vaksinasi Covid-19

WBS Kementerian Kesehatan

PATUHI PROTKES COVID-19

PATUHI PROTKES COVID-19

WASPADA PENYEBARAN COVID-19

WASPADA PENYEBARAN COVID-19

Pelayanan Vaksinasi Covid-19

Tolak Gratifikasi

Find Us On Facebook

Find Us On Instagram

Alamat Kantor

Statistik Website

banner