MUSIM haji telah tiba. Tahun silih berganti, jumlah umat muslim Indonesia yang berangkat ke Baitullah kian bertambah. Pemerintah pun sibuk membenahi sistem untuk memberikan layanan terbaik bagi jamaah yang menunaikan rukun Islam kelima tersebut.Mulai dari layanan administrasi, kesehatan, transportasi, dsb. Namun, mari kita melihat sejenak ke masa silam. Dimana, transportasi yang digunakan untuk berangkat ke tanah suci, hanya melalui jalur laut.
Menurut M. Shaleh Putuhena dalam bukunya, Historiografi Haji Indonesia, mengutip cerita Lewis Barthema dari Roma (Italia) yang pernah menyaksikan kehadiran jamaah haji dari Greater India dan Lesser East Indies, kepulauan Nusantara pada tahun 1503 di Jeddah (Arab Saudi). Bahkan pada tahun 1526, Portugis menghancurkan sebuah kapal niaga dari Aceh yang hendak menuju Jeddah. Namun beberapa kapal lolos. Sebuah sumber dari Venesia menyebut periode tahun 1565 hingga 1566, lima kapal kerajaan Aceh berhasil berlabuh di Jeddah.
Pengamat sejarah dari Jakarta, JJ Rizal, menuturkan bahwa orang-orang dari berbagai wilayah di tanah air harus lebih dulu berangkat ke Aceh sebelum meneruskan perjalanan haji. Ini termasuk jamaah yang berasal dari Jakarta pada masa itu. Peran Aceh sebagai embarkasi haji pertama dalam sejarah nusantara memang telah dimulai sejak abad ke-13 dan abad ke-14 Masehi (Reid: 1969). Letak yang strategis dan kedigdayaannya sebagai kekuatan besar Islam kala itu, menjadikan Aceh seperti magnet yang menarik para pedagang, pelancong maupun kalangan intelektual sehingga datang menyinggahinya.
Hubungan Aceh dan Arab
Ramainya aktivitas pelabuhan di Aceh tidak terlepas dari jumlah pedagang Asia dan Arab yang datang berduyun-duyun. Mereka memindahkan pusat kegiatan perdagangannya di Malaka (Malaysia). Hal ini disebabkan pada tahun 1511, Portugis menyerang dan mengambilalih pelabuhan Malaka yang strategis dan penting (Reid 1969). Kedatangan para pedagang asing ke Aceh, membuat masyarakat pribumi semakin akrab berinteraksi dengan mereka. Berawal dari sinilah, pelabuhan Aceh makin dikenal oleh dunia. Termasuk para penguasa dari tanah Hijaz (sekarang Arab Saudi).Tempat dimana Ka’bah Baitullah sebagai kiblat umat Islam berada.
Dalam artikel terbitan salah satu harian lokal (Aceh) yang ditulis oleh pemerhati sejarah Aceh, M Adli Abdullah (Emas dan Tahta, Catatan Aceh yang Tercecer; 4/10/2009), disebutkan bahwa hubungan Kerajaan Aceh dengan tanah Hijaz mulai terjalin erat semasa kepemimpinan Sulthanah Zakiatuddin Inayatsyah (1678-1688 M). Hal ini berawal pada tahun 1672 M, Syarif Barakat penguasa Mekkah pada akhir abad ke- 17 mengirim duta besarnya ke Timur. Mencari sumbangan untuk pemeliharaan Masjidil Haram. Karena kondisi Arab pada saat itu masih dalam keadaan miskin.
Kedatangan mereka ke Aceh setelah Raja Moghul, Aurangzeb (1658-1707 M) tidak mampu memenuhi keinginan Syarif Barakat. Dia saat itu belum sanggup memberi sumbangan seperti biasanya ke Mesjidil Haram. Setelah empat tahun rombongan Mekkah ini terkatung-katung dalam ketidakjelasan di Delhi (India). Atas nasehat pembesar di sana, rombongan ini berangkat ke Aceh dan tiba pada tahun 1092 H (1681M).
Sesampai di Aceh, duta besar Mekkah ini disambut dan dilayani dengan baik dan hormat oleh Sulthanah Zakiatuddin Inayatsyah. Di luar dugaan, kedatangan utusan Syarif Mekkah ini menyulut semangat kelompok wujudiyah (anti pemerintahan perempuan). Namun, karena sosok Sulthanah Zakiatuddin yang alim dan mampu berbahasa Arab dengan lancar. Bahkan menurut sejarah, dia berbicara dengan para tamu ini dengan menggunakan tabir dari sutra Dewangga (Jamil: 1968).
Utusan Arab sangat gembira diterima oleh Sulthanah Zakiatuddin, karena mereka tidak mendapat pelayanan serupa ketika berada di Delhi, India. Bahkan empat tahun mereka di India, tidak dapat bertemu Aurangzeb. Ketika mereka pulang Sulthanah Zakiatuddin Inayatsyah, memberi mereka cindera mata untuk rombongan dan Syarif Mekkah, juga sumbangan untuk Mesjidil Haram dan Mesjidil Nabawi di Madinah terdiri dari: tiga kinthar mas murni, tiga rathal kamfer, kayu cendana dan civet (jeuebeuet musang), tiga gulyun (alat penghisap tembakau) dari emas, dua lampu kaki (panyot-dong) dari emas, lima lampu gantung dari emas untuk Masjidil Haram, lampu kaki dan kandil dari emas untuk Masjid Nabawi.
Sumbangan emas yang diberikan oleh Sulthanah kepada rombongan dari Mekkah, ternyata menjadi perbincangan dan perdebatan di Mekkah. Disebutkan bahwa hal ini tercatat dalam sejarah Mekkah, dimana disebutkan bahwa emas dan kiriman Sulthanah Aceh tiba di Mekkah pada bulan Syakban 1094 H/1683 M dan pada saat itu, Syarif Barakat telah meninggal. Pemerintahan Mekkah digantikan oleh anaknya Syarif Sa’id Barakat (1682-1684 M).
Snouck Hurgronje, mengatakan bahwa ”Pengiriman Seorang Duta Mekkah ke Aceh Tahun 1683 M” membuatnya kagum terhadap kehebatan Aceh masa lalu dan dicatat dalam bukunya, saat ia tiba di Mekkah pada tahun 1883. Ternyata sumbangan Kerajaan Aceh 200 tahun yang lalu masih hangat dibicarakan di sana. Menurutnya berdasarkan catatan sejarah Mekkah yang dipelajarinya barang-barang hadiah itu sempat disimpan lama di rumah Syarif Muhammad Al Harits sebelum dibagikan kepada para Syarif yang berhak atas tiga perempat dari hadiah dan sedekah diberikan kepada kaum fakir miskin. Sedangkan sisanya, diserahkan kepada Masjidil Haram dan Masjid Nabawi.
Pelabuhan Aceh Dalam Kenangan
Aceh adalah tempat singgah dan bermukim yang paling utama bagi para pedagang Arab, Persia, dan India dalam usaha mereka mencari komoditas-komoditas unggul pada masa dahulu, seperti rempah-ratus dan juga dalam usaha mencari pasar serta produk-produk dari negeri Cina. Catatan pengembaraan seorang agamawan Cina bernama I-Tsing, menyatakan bahwa beliau telah bertolak dari Canton menuju India pada tahun 672 Masehi dengan menumpang kapal dagang Persia telah singgah di Aceh dan pada waktu itu telah ada perkampungan pedagang Arab di sana (Mohammad Said 1981:55-56).
Gerini (1909) sebagaimana dikutip oleh Mohammad Said (1981:57), menyebutkan bahwa para pedagang Arab dan Persia tersebut telah sangat dikenal oleh para penduduk lokal di Aceh dan mereka sangat sering melakukan perjalanan berulang kali ke pelabuhan-pelabuhan Aceh. Untuk melakukan transaksi dagang sejak pertengahan abad ke-10 atau sejak abad ke-11 (Reid: 1969, 1995). Perlak atau Ferlec (sebutan oleh Marco Polo) dan Samudera (kemudian dikenal sebagai Pasai) adalah antara pelabuhan-pelabuhan terbesar dan utama di kawasan ini antara abad ke-13 dan abad ke-14 Masehi. Pelabuhan Lhokseumawe selama lebih 150 tahun merupakan pusat dagang terbesar di wilayah timur bagi para peniaga muslim dalam jalur perniagaan mereka dan menjadi pusat kepada pengembangan keilmuan dan perdagangan (Reid 1969). Menurut Reid juga, perkataan Sumatera diambil dari catatan-catatan Marco Polo ketika menyebutkan Negeri Samudera dan memberi nama itu untuk menyebut keseluruhan pulau berkenaan (Reid 1995). Sebelum itu, Pelabuhan Lambri atau Lamuri merupakan pelabuhan Aceh yang menjadi tumpuan utama para pedagang Arab dan Persia pada abad ke-10 sehingga abad ke-12 (Gerini 1909; Mohammad Said 1981).
Antara abad ke-16 hingga abad ke-18 Masehi, Aceh telah mempunyai beberapa pelabuhan perdagangan besar, yang bersaing dengan Negeri-negeri besar dari Eropa, seperti Portugis, Spanyol, Perancis, Belanda, dan Inggris dan beberapa negeri Asia, seperti Kekaisaran Cina dan Kerajaan-kerajaan India dalam mengawal jalur Selat Melaka dan keseluruhan kawasan tersebut. Mereka bersaing untuk merebut dominasi atas pengaruh politik dan ekonomi di kawasan berkenaan khususnya dalam bidang perdagangan (Reid 1969, 1995; Anderson 1840, 1971; Moor 1837; Tolson 1880; Marsden 1986).
Sejak Aceh menjadi sebuah pelabuhan internasional, ada beberapa bahasa yang digunakan dalam interaksi antar bangsa, khususnya permulaan abad ke-17, bahasa Arab dan Portugis, disamping bahasa Melayu, baik secara lokal maupun internasional (Rodolphe De Koninck, Aceh In The Time of Iskandar Muda: 1977, hal. 29).
Nama-nama pelabuhan di Aceh sekitar tahun 1814 sebagaimana disebut oleh Anderson (1840:159) adalah Tapoos, Sebadi, Pulau Dua, Kalavat, Telapow, Muckie Utara dan Selatan, Labuan Haji, Senanghan, Annalaboo, Pulo Ryah, Tarang, Manghin, Seimeyoh, Tareepuli, Taddow, Singkel, Ayam Dammah, Terooman, Rhambong, Saluhat, Soosoo, Kivala Batu, Bahroos, Tampattuan, dan Samadua semuanya di pesisir barat; Acheen, Pedada, Lauang, Pedir, Pakan, Selu, Burong, Sarong, Murdoo, Samalangan, Passangan, Junka, Teluksamoy, Chunda, Passy, dan Curtoy, semuanya di pesisir Utara atau Timur. Kapten Coombs, yang melawat Aceh pada awal tahun 1818, memperkirakan nilai kegiatan dagangan ekspor dan impor adalah 2,234,250 dolar Spanyol. Jumlah ekspor untuk pinang saja adalah antara 15,000 sehingga 16,000 ton per tahun (Anderson 1840:161-163).
Akhirnya, Itulah sekilas sejarah tentang pelabuhan Aceh, yang menjadi tempat embarkasi haji pertama bagi umat muslim di nusantara. Letaknya yang strategis telah banyak berperan dalam perdagangan sekaligus penghalang dominasi bangsa Barat di Asia Tenggara melalui armada Kerajaan Aceh Darussalam (1496-1903 M) yang dikenal tangguh pada masa itu. Pelabuhan Aceh akan kembali Berjaya, jika ada niat dan upaya yang konsisten dari pemerintah untuk memajukannya. Bila ini terwujud, maka akan menjadi saingan utama pelabuhan Singapura di masa depan. Semoga
Ruslan
Ruslan
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/ruslan./mengenang-pelabuhan-aceh-embarkasi-haji-pertama-di-nusantara_552ba4f56ea834154a8b4571